Terikatnya jalinan cinta dua orang
insan dalam sebuah pernikahan
adalah perkara yang sangat
diperhatikan dalam syariat Islam
yang mulia ini. Bahkan kita
dianjurkan untuk serius dalam
permasalahan ini dan dilarang
menjadikan hal ini sebagai bahan
candaan atau main-main.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda,
ﺛﻼﺙ ﺟﺪﻫﻦ ﺟﺪ ﻭﻫﺰﻟﻬﻦ ﺟﺪ: ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﺍﻟﺮﺟﻌﺔ
“Tiga hal yang seriusnya dianggap
benar-benar serius dan
bercandanya dianggap serius: nikah,
cerai dan ruju.’” (Diriwayatkan oleh
Al Arba’ah kecuali An Nasa’i.
Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash
Shahihah)
Salah satunya dikarenakan menikah
berarti mengikat seseorang untuk
menjadi teman hidup tidak hanya
untuk satu-dua hari saja bahkan
seumur hidup, insya Allah. Jika
demikian, merupakan salah satu
kemuliaan syariat Islam bahwa orang
yang hendak menikah diperintahkan
untuk berhati-hati, teliti dan penuh
pertimbangan dalam memilih
pasangan hidup.
Sungguh sayang, anjuran ini sudah
semakin diabaikan oleh kebanyakan
kaum muslimin. Sebagian mereka
terjerumus dalam perbuatan maksiat
dan semacamnya,
sehingga mereka pun akhirnya
menikah dengan kekasih mereka
tanpa memperhatikan bagaimana
keadaan agamanya. Sebagian lagi
memilih pasangannya hanya dengan
pertimbangan fisik. Mereka berlomba
mencari wanita cantik atau peria tampan untuk dinikahi tanpa peduli bagaimana
kondisi agamanya. Sebagian lagi
menikah untuk menumpuk kekayaan.
Mereka pun meminang lelaki atau
wanita yang kaya raya untuk
mendapatkan hartanya. Yang
terbaik tentu adalah apa yang
dianjurkan oleh syariat, yaitu
berhati-hati, teliti dan penuh
pertimbangan dalam memilih
pasangan hidup serta menimbang
anjuran-anjuran agama dalam
memilih pasangan.
Setiap muslim yang ingin beruntung
dunia akhirat hendaknya
mengidam-idamkan sosok suami dan
istri dengan kriteria sebagai berikut:
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah kriteria yang paling
utama dari kriteria yang lain. Maka
dalam memilih calon pasangan
hidup, minimal harus terdapat satu
syarat ini. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kalian adalah yang paling
bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)
Sedangkan taqwa adalah menjaga
diri dari adzab Allah Ta’ala dengan
menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Maka
hendaknya seorang muslim berjuang
untuk mendapatkan calon pasangan
yang paling mulia di sisi Allah, yaitu
seorang yang taat kepada aturan
agama. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam pun menganjurkan memilih
istri yang baik agamanya,
ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻷﺭﺑﻊ: ﻟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻟﺤﺴﺒﻬﺎ ﻭﺟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻟﺪﻳﻨﻬﺎ،
ﻓﺎﻇﻔﺮ ﺑﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﺮﺑﺖ ﻳﺪﺍﻙ
“Wanita biasanya dinikahi karena
empat hal: karena hartanya,
karena kedudukannya, karena
parasnya dan karena agamanya.
Maka hendaklah kamu pilih wanita
yang bagus agamanya
(keislamannya). Kalau tidak
demikian, niscaya kamu akan
merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻛﻢ ﻣﻦ ﺗﺮﺿﻮﻥ ﺩﻳﻨﻪ ﻭﺧﻠﻘﻪ ﻓﺰﻭﺟﻮﻩ ﺇﻻ ﺗﻔﻌﻠﻮﻩ
ﺗﻜﻦ ﻓﺘﻨﺔ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﻓﺴﺎﺩ ﻛﺒﻴﺮ
“Jika datang kepada kalian seorang
lelaki yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah ia.
Jika tidak, maka akan terjadi
fitnah di muka bumi dan kerusakan
yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani
berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa
hadits ini hasan lighoirihi)
Jika demikian, maka ilmu agama
adalah poin penting yang menjadi
perhatian dalam memilih pasangan.
Karena bagaimana mungkin
seseorang dapat menjalankan
perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, padahal dia tidak
tahu apa saja yang diperintahkan
oleh Allah dan apa saja yang
dilarang oleh-Nya? Dan disinilah
diperlukan ilmu agama untuk
mengetahuinya.
Maka pilihlah calon pasangan hidup
yang memiliki pemahaman yang baik
tentang agama. Karena salah satu
tanda orang yang diberi kebaikan
oleh Allah adalah memiliki
pemahaman agama yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﻔﻘﻬﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ
“Orang yang dikehendaki oleh Allah
untuk mendapat kebaikan akan
dipahamkan terhadap ilmu
agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau
al kafa’ah -secara bahasa- adalah
sebanding dalam hal kedudukan,
agama, nasab, rumah dan selainnya
(Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al
Kafa’ah secara syariat menurut
mayoritas ulama adalah sebanding
dalam agama, nasab (keturunan),
kemerdekaan dan pekerjaan.
(Dinukil dari Panduan Lengkap
Nikah, hal. 175). Atau dengan kata
lain kesetaraan dalam agama dan
status sosial. Banyak dalil yang
menunjukkan anjuran ini. Di
antaranya firman Allah Ta’ala,
ﺍﻟْﺨَﺒِﻴﺜَﺎﺕُ ﻟِﻠْﺨَﺒِﻴﺜِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﺨَﺒِﻴﺜُﻮﻥَ ﻟِﻠْﺨَﺒِﻴﺜَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕُ ﻟِﻠﻄَّﻴِّﺒِﻴﻦَ
ﻭَﺍﻟﻄَّﻴِّﺒُﻮﻥَ ﻟِﻠﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕِ
“Wanita-wanita yang keji untuk
laki-laki yang keji. Dan laki-laki
yang keji untuk wanita-wanita yang
keji pula. Wanita-wanita yang baik
untuk laki-laki yang baik. Dan laki-
laki yang baik untuk wanita-wanita
yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab
shahihnya membuat Bab Al Akfaa
fid Diin (Sekufu dalam agama)
kemudian di dalamnya terdapat
hadits,
ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻷﺭﺑﻊ: ﻟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻟﺤﺴﺒﻬﺎ ﻭﺟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻟﺪﻳﻨﻬﺎ،
ﻓﺎﻇﻔﺮ ﺑﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﺮﺑﺖ ﻳﺪﺍﻙ
“Wanita biasanya dinikahi karena
empat hal: karena hartanya,
karena kedudukannya, karena
parasnya dan karena agamanya.
Maka hendaklah kamu pilih karena
agamanya (keislamannya), sebab
kalau tidak demikian, niscaya kamu
akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu hikmah dari anjuran ini
adalah kesetaraan dalam agama
dan kedudukan sosial dapat
menjadi faktor kelanggengan rumah
tangga. Hal ini diisyaratkan oleh
kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu
‘anhu, seorang sahabat yang paling
dicintai oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dinikahkan
dengan Zainab binti Jahsy
radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah
wanita terpandang dan cantik,
sedangkan Zaid adalah lelaki biasa
yang tidak tampan. Walhasil,
pernikahan mereka pun tidak
berlangsung lama. Jika kasus seperti
ini terjadi pada sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi
kita?
3. Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits yang telah
disebutkan, membolehkan kita untuk
menjadikan faktor fisik sebagai
salah satu kriteria memilih calon
pasangan. Karena paras yang cantik
atau tampan, juga keadaan fisik
yang menarik lainnya dari calon
pasangan hidup kita adalah salah
satu faktor penunjang keharmonisan
rumah tangga. Maka
mempertimbangkan hal tersebut
sejalan dengan tujuan dari
pernikahan, yaitu untuk
menciptakan ketentraman dalam
hati.
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻣِﻦْ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﺃَﻥْ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢ ﻣِّﻦْ ﺃَﻧﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟﺎً ﻟِّﺘَﺴْﻜُﻨُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ
“Dan di antara tanda kekuasaan
Allah ialah Ia menciptakan bagimu
istri-istri dari jenismu sendiri agar
kamu merasa tenteram
denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Dalam sebuah hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menyebutkan 4 ciri wanita sholihah
yang salah satunya,
ﻭﺍﻥ ﻧﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺳﺮﺗﻪ
“Jika memandangnya, membuat
suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al
Hakim berkata bahwa sanad hadits
ini shahih)
Oleh karena itu, Islam menetapkan
adanya nazhor, yaitu melihat wanita
yang yang hendak dilamar. Sehingga
sang lelaki dapat mempertimbangkan
wanita yang yang hendak
dilamarnya dari segi fisik.
Sebagaimana ketika ada seorang
sahabat mengabarkan pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa ia akan melamar
seorang wanita Anshar. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺃﻧﻈﺮﺕ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﺎﻝ ﻓﺎﺫﻫﺐ ﻓﺎﻧﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻓﺈﻥ ﻓﻲ
ﺃﻋﻴﻦ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ ﺷﻴﺌﺎ
“Sudahkah engkau melihatnya?”
Sahabat tersebut berkata, “Belum.”
Beliau lalu bersabda, “Pergilah
kepadanya dan lihatlah ia, sebab
pada mata orang-orang Anshar
terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)
4. Subur (mampu menghasilkan
keturunan)
Di antara hikmah dari pernikahan
adalah untuk meneruskan keturunan
dan memperbanyak jumlah kaum
muslimin dan memperkuat izzah
(kemuliaan) kaum muslimin. Karena
dari pernikahan diharapkan
lahirlah anak-anak kaum muslimin
yang nantinya menjadi orang-orang
yang shalih yang mendakwahkan
Islam. Oleh karena itulah,
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganjurkan untuk memilih
calon istri yang subur,
ﺗﺰﻭﺟﻮﺍ ﺍﻟﻮﺩﻭﺩ ﺍﻟﻮﻟﻮﺩ ﻓﺎﻧﻲ ﻣﻜﺎﺛﺮ ﺑﻜﻢ ﺍﻷﻣﻢ
“Nikahilah wanita yang penyayang
dan subur! Karena aku berbangga
dengan banyaknya ummatku.” (HR.
An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan
oleh Al Albani dalam Misykatul
Mashabih)
Karena alasan ini juga sebagian
fuqoha (para pakar fiqih)
berpendapat bolehnya fas-khu an
nikah (membatalkan pernikahan)
karena diketahui suami memiliki
impotensi yang parah. As Sa’di
berkata: “Jika seorang istri setelah
pernikahan mendapati suaminya
ternyata impoten, maka diberi waktu
selama 1 tahun, jika masih dalam
keadaan demikian, maka
pernikahan dibatalkan (oleh
penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin,
Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
Kriteria Khusus untuk Memilih Calon
Suami
Khusus bagi seorang muslimah yang
hendak memilih calon pendamping,
ada satu kriteria yang penting untuk
diperhatikan. Yaitu calon suami
memiliki kemampuan untuk memberi
nafkah. Karena memberi nafkah
merupakan kewajiban seorang suami.
Islam telah menjadikan sikap
menyia-nyiakan hak istri, anak-
anak serta kedua orang tua dalam
nafkah termasuk dalam kategori
dosa besar. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻛﻔﻰ ﺑﺎﻟﻤﺮﺀ ﺇﺛﻤﺎ ﺃﻥ ﻳﻀﻴﻊ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﺕ
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila
ia menyia-nyiakan orang yang
menjadi tanggungannya.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim
berkata bahwa sanad hadits ini
shahih).
Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
membolehkan bahkan menganjurkan
menimbang faktor kemampuan
memberi nafkah dalam memilih
suami. Seperti kisah pelamaran
Fathimah binti Qais radhiyallahu
‘anha:
ﻋﻦ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﻨﺖ ﻗﻴﺲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ : ﺃﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﺒﻲ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﻘﻠﺖ: ﺇﻥ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﺠﻬﻢ ﻭﻣﻌﺎﻭﻳﺔ
ﺧﻄﺒﺎﻧﻲ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ”:ﺃﻣﺎ
ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ، ﻓﺼﻌﻠﻮﻙ ﻻ ﻣﺎﻝ ﻟﻪ ، ﻭﺃﻣﺎ ﺃﺑﻮﺍﻟﺠﻬﻢ، ﻓﻼ ﻳﻀﻊ
ﺍﻟﻌﺼﺎ ﻋﻦ ﻋﺎﺗﻘﻪ
“Dari Fathimah binti Qais
radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lalu aku berkata,
“Sesungguhnya Abul Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah
adalah orang fakir, ia tidak
mempunyai harta. Adapun Abul
Jahm, ia tidak pernah meletakkan
tongkat dari pundaknya”.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
merekomendasikan Muawiyah
radhiyallahu ‘anhu karena miskin.
Maka ini menunjukkan bahwa
masalah kemampuan memberi
nafkah perlu diperhatikan.
Namun kebutuhan akan nafkah ini
jangan sampai dijadikan kriteria
dan tujuan utama. Jika sang calon
suami dapat memberi nafkah yang
dapat menegakkan tulang
punggungnya dan keluarganya kelak
itu sudah mencukupi. Karena Allah
dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak
zuhud (sederhana) dan qana’ah
(menyukuri apa yang dikarunai
Allah) serta mencela penghamba dan
pengumpul harta. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺗﻌﺲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺪﻳﻨﺎﺭ، ﻭﺍﻟﺪﺭﻫﻢ، ﻭﺍﻟﻘﻄﻴﻔﺔ، ﻭﺍﻟﺨﻤﻴﺼﺔ، ﺇﻥ
ﺃﻋﻄﻲ ﺭﺿﻲ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ﻟﻢ ﻳﺮﺽ
“Celakalah hamba dinar, celakalah
hamba dirham, celakalah hamba
khamishah dan celakalah hamba
khamilah. Jika diberi ia senang,
tetapi jika tidak diberi ia
marah.” (HR. Bukhari).
Selain itu, bukan juga berarti calon
suami harus kaya raya. Karena
Allah pun menjanjikan kepada para
lelaki yang miskin yang ingin
menjaga kehormatannya dengan
menikah untuk diberi rizki.
ﻭَﺃَﻧﻜِﺤُﻮﺍ ﺍﻟْﺄَﻳَﺎﻣَﻰ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴﻦَ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻛُﻢْ ﻭَﺇِﻣَﺎﺋِﻜُﻢْ ﺇِﻥ
ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻓُﻘَﺮَﺍﺀ ﻳُﻐْﻨِﻬِﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦ ﻓَﻀْﻠِﻪِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang
masih membujang di antara kalian.
Jika mereka miskin, Allah akan
memberi kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur:
32)
Kriteria Khusus untuk Memilih Istri
Salah satu bukti bahwa wanita
memiliki kedudukan yang mulia
dalam Islam adalah bahwa terdapat
anjuran untuk memilih calon istri
dengan lebih selektif. Yaitu dengan
adanya beberapa kriteria khusus
untuk memilih calon istri. Di antara
kriteria tersebut adalah:
1. Bersedia taat kepada suami
Seorang suami adalah pemimpin
dalam rumah tangga. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala,
ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)
Sudah sepatutnya seorang pemimpin
untuk ditaati. Ketika ketaatan
ditinggalkan maka hancurlah
‘organisasi’ rumah tangga yang
dijalankan. Oleh karena itulah,
Allah dan Rasul-Nya dalam banyak
dalil memerintahkan seorang istri
untuk taat kepada suaminya, kecuali
dalam perkara yang diharamkan.
Meninggalkan ketaatan kepada
suami merupakan dosa besar,
sebaliknya ketaatan kepadanya
diganjar dengan pahala yang sangat
besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَﺖِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺧَﻤْﺴَﻬَﺎ، ﻭَﺻَﺎﻣَﺖْ ﺷَﻬْﺮَﻫَﺎ، ﻭَﺣَﺼَﻨَﺖْ
ﻓَﺮْﺟَﻬَﺎ، ﻭَﺃَﻃَﺎﻋَﺖْ ﺑَﻌْﻠَﻬَﺎ، ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﺃَﻱِّ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺷَﺎﺀَﺕْ
“Apabila seorang wanita
mengerjakan shalat lima waktunya,
mengerjakan puasa di bulan
Ramadhan, menjaga kemaluannya
dan menaati suaminya, maka ia
akan masuk surga dari pintu mana
saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu
Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)
Maka seorang muslim hendaknya
memilih wanita calon pasangan
hidupnya yang telah menyadari
akan kewajiban ini.
2. Menjaga auratnya dan tidak
memamerkan kecantikannya kecuali
kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan
syar’i adalah kewajiban setiap
muslimah. Seorang muslimah yang
shalihah tentunya tidak akan
melanggar ketentuan ini. Allah
Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞ ﻟِّﺄَﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻳُﺪْﻧِﻴﻦَ
ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦ ﺟَﻠَﺎﺑِﻴﺒِﻬِﻦَّ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺩْﻧَﻰ ﺃَﻥ ﻳُﻌْﺮَﻓْﻦَ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺆْﺫَﻳْﻦَ ﻭَﻛَﺎﻥَ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭﺍً ﺭَّﺣِﻴﻤﺎً
“Wahai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mengabarkan dua kaum
yang kepedihan siksaannya belum
pernah beliau lihat, salah satunya
adalah wanita yang memamerkan
auratnya dan tidak berbusana yang
syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻧﺴﺎﺀ ﻛﺎﺳﻴﺎﺕ ﻋﺎﺭﻳﺎﺕ ﻣﻤﻴﻼﺕ ﻣﺎﺋﻼﺕ ﺭﺅﺳﻬﻦ ﻛﺄﺳﻨﺔ
ﺍﻟﺒﺨﺖ ﺍﻟﻤﺎﺋﻠﺔ ﻻ ﻳﺪﺧﻠﻦ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﻻ ﻳﺠﺪﻥ ﺭﻳﺤﻬﺎ ﻭﺇﻥ ﺭﻳﺤﻬﺎ
ﻟﻴﻮﺟﺪ ﻣﻦ ﻣﺴﻴﺮﺓ ﻛﺬﺍ ﻭﻛﺬﺍ
“Wanita yang berpakaian namun
(pada hakikatnya) telanjang yang
berjalan melenggang, kepala mereka
bergoyang bak punuk unta. Mereka
tidak akan masuk surga dan bahkan
mencium wanginya pun tidak.
Padahal wanginya surga dapat
tercium dari jarak sekian dan
sekian.” (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil-dalil yang ada,
para ulama merumuskan syarat-
syarat busana muslimah yang syar’i
di antaranya: menutup aurat
dengan sempurna, tidak ketat,
tidak transparan, bukan untuk
memamerkan kecantikan di depan
lelaki non-mahram, tidak meniru
ciri khas busana non-muslim, tidak
meniru ciri khas busana laki-laki,
dll.
Maka pilihlah calon istri yang
menyadari dan memahami hal ini,
yaitu para muslimah yang berbusana
muslimah yang syar’i.
3. Gadis lebih diutamakan dari
janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganjurkan agar menikahi
wanita yang masih gadis. Karena
secara umum wanita yang masih
gadis memiliki kelebihan dalam hal
kemesraan dan dalam hal
pemenuhan kebutuhan biologis.
Sehingga sejalan dengan salah satu
tujuan menikah, yaitu menjaga dari
penyaluran syahawat kepada yang
haram. Wanita yang masih gadis
juga biasanya lebih nrimo jika sang
suami berpenghasilan sedikit. Hal ini
semua dapat menambah kebahagiaan
dalam pernikahan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻷﺑﻜﺎﺭ ، ﻓﺈﻧﻬﻦ ﺃﻋﺬﺏ ﺃﻓﻮﺍﻫﺎ ﻭ ﺃﻧﺘﻖ ﺃﺭﺣﺎﻣﺎ ﻭ
ﺃﺭﺿﻰ ﺑﺎﻟﻴﺴﻴﺮ
“Menikahlah dengan gadis, sebab
mulut mereka lebih jernih, rahimnya
lebih cepat hamil, dan lebih rela
pada pemberian yang sedikit.” (HR.
Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al
Albani)
Namun tidak mengapa menikah
dengan seorang janda jika melihat
maslahat yang besar. Seperti
sahabat Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhu yang menikah
dengan janda karena ia memiliki 8
orang adik yang masih kecil sehingga
membutuhkan istri yang pandai
merawat anak kecil, kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun menyetujuinya (HR.
Bukhari-Muslim)
4. Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang yang
hendak meminang seorang wanita
untuk mencari tahu tentang nasab
(silsilah keturunan)-nya.
Alasan pertama, keluarga memiliki
peran besar dalam mempengaruhi
ilmu, akhlak dan keimanan
seseorang. Seorang wanita yang
tumbuh dalam keluarga yang baik
lagi Islami biasanya menjadi seorang
wanita yang shalihah.
Alasan kedua, di masyarakat kita
yang masih awam terdapat
permasalahan pelik berkaitan
dengan status anak zina. Mereka
menganggap bahwa jika dua orang
berzina, cukup dengan menikahkan
keduanya maka selesailah
permasalahan. Padahal tidak
demikian. Karena dalam ketentuan
Islam, anak yang dilahirkan dari
hasil zina tidak di-nasab-kan
kepada si lelaki pezina, namun di-
nasab-kan kepada ibunya.
Berdasarkan hadits,
ﺍﻟﻮَﻟَﺪُ ﻟِﻠْﻔِﺮَﺍﺵِ ، ﻭَﻟِﻠْﻌَﺎﻫِﺮِ ﺍﻟْﺤَﺠْﺮُ
“Anak yang lahir adalah milik
pemilik kasur (suami) dan pezinanya
dihukum.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
menetapkan anak tersebut di-
nasab-kan kepada orang yang
berstatus suami dari si wanita. Me-
nasab-kan anak zina tersebut
kepada lelaki pezina menyelisihi
tuntutan hadits ini.
Konsekuensinya, anak yang lahir
dari hasil zina, apabila ia
perempuan maka suami dari ibunya
tidak boleh menjadi wali dalam
pernikahannya. Jika ia menjadi wali
maka pernikahannya tidak sah, jika
pernikahan tidak sah lalu
berhubungan intim, maka sama
dengan perzinaan. Iyyadzan billah,
kita berlindung kepada Allah dari
kejadian ini.
Oleh karena itulah, seorang lelaki
yang hendak meminang wanita
terkadang perlu untuk mengecek
nasab dari calon pasangan.
Demikian beberapa kriteria yang
perlu dipertimbangkan oleh seorang
muslim yang hendak menapaki
tangga pernikahan. Nasehat kami,
selain melakukan usaha untuk
memilih pasangan, jangan lupa
bahwa hasil akhir dari segala usaha
ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla.
Maka sepatutnya jangan
meninggalkan doa kepada Allah
Ta’ala agar dipilihkan calon
pasangan yang baik. Salah satu doa
yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan shalat Istikharah.
Sebagaimana hadits dari Jabir
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata,
ﺇﺫﺍ ﻫﻢ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺑﺄﻣﺮ ﻓﻠﻴﺼﻞِّ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺛﻢ ﻟﻴﻘﻞ : ” ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﺇﻧﻲ ﺃﺳﺘﺨﻴﺮﻙ ﺑﻌﻠﻤﻚ …”
“Jika kalian merasa gelisah
terhadap suatu perkara, maka
shalatlah dua raka’at kemudian
berdoalah: ‘Ya Allah, aku
beristikharah kepadamu dengan
ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)
insan dalam sebuah pernikahan
adalah perkara yang sangat
diperhatikan dalam syariat Islam
yang mulia ini. Bahkan kita
dianjurkan untuk serius dalam
permasalahan ini dan dilarang
menjadikan hal ini sebagai bahan
candaan atau main-main.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda,
ﺛﻼﺙ ﺟﺪﻫﻦ ﺟﺪ ﻭﻫﺰﻟﻬﻦ ﺟﺪ: ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﺍﻟﺮﺟﻌﺔ
“Tiga hal yang seriusnya dianggap
benar-benar serius dan
bercandanya dianggap serius: nikah,
cerai dan ruju.’” (Diriwayatkan oleh
Al Arba’ah kecuali An Nasa’i.
Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash
Shahihah)
Salah satunya dikarenakan menikah
berarti mengikat seseorang untuk
menjadi teman hidup tidak hanya
untuk satu-dua hari saja bahkan
seumur hidup, insya Allah. Jika
demikian, merupakan salah satu
kemuliaan syariat Islam bahwa orang
yang hendak menikah diperintahkan
untuk berhati-hati, teliti dan penuh
pertimbangan dalam memilih
pasangan hidup.
Sungguh sayang, anjuran ini sudah
semakin diabaikan oleh kebanyakan
kaum muslimin. Sebagian mereka
terjerumus dalam perbuatan maksiat
dan semacamnya,
sehingga mereka pun akhirnya
menikah dengan kekasih mereka
tanpa memperhatikan bagaimana
keadaan agamanya. Sebagian lagi
memilih pasangannya hanya dengan
pertimbangan fisik. Mereka berlomba
mencari wanita cantik atau peria tampan untuk dinikahi tanpa peduli bagaimana
kondisi agamanya. Sebagian lagi
menikah untuk menumpuk kekayaan.
Mereka pun meminang lelaki atau
wanita yang kaya raya untuk
mendapatkan hartanya. Yang
terbaik tentu adalah apa yang
dianjurkan oleh syariat, yaitu
berhati-hati, teliti dan penuh
pertimbangan dalam memilih
pasangan hidup serta menimbang
anjuran-anjuran agama dalam
memilih pasangan.
Setiap muslim yang ingin beruntung
dunia akhirat hendaknya
mengidam-idamkan sosok suami dan
istri dengan kriteria sebagai berikut:
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah kriteria yang paling
utama dari kriteria yang lain. Maka
dalam memilih calon pasangan
hidup, minimal harus terdapat satu
syarat ini. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kalian adalah yang paling
bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)
Sedangkan taqwa adalah menjaga
diri dari adzab Allah Ta’ala dengan
menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Maka
hendaknya seorang muslim berjuang
untuk mendapatkan calon pasangan
yang paling mulia di sisi Allah, yaitu
seorang yang taat kepada aturan
agama. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam pun menganjurkan memilih
istri yang baik agamanya,
ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻷﺭﺑﻊ: ﻟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻟﺤﺴﺒﻬﺎ ﻭﺟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻟﺪﻳﻨﻬﺎ،
ﻓﺎﻇﻔﺮ ﺑﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﺮﺑﺖ ﻳﺪﺍﻙ
“Wanita biasanya dinikahi karena
empat hal: karena hartanya,
karena kedudukannya, karena
parasnya dan karena agamanya.
Maka hendaklah kamu pilih wanita
yang bagus agamanya
(keislamannya). Kalau tidak
demikian, niscaya kamu akan
merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻛﻢ ﻣﻦ ﺗﺮﺿﻮﻥ ﺩﻳﻨﻪ ﻭﺧﻠﻘﻪ ﻓﺰﻭﺟﻮﻩ ﺇﻻ ﺗﻔﻌﻠﻮﻩ
ﺗﻜﻦ ﻓﺘﻨﺔ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﻓﺴﺎﺩ ﻛﺒﻴﺮ
“Jika datang kepada kalian seorang
lelaki yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah ia.
Jika tidak, maka akan terjadi
fitnah di muka bumi dan kerusakan
yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani
berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa
hadits ini hasan lighoirihi)
Jika demikian, maka ilmu agama
adalah poin penting yang menjadi
perhatian dalam memilih pasangan.
Karena bagaimana mungkin
seseorang dapat menjalankan
perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, padahal dia tidak
tahu apa saja yang diperintahkan
oleh Allah dan apa saja yang
dilarang oleh-Nya? Dan disinilah
diperlukan ilmu agama untuk
mengetahuinya.
Maka pilihlah calon pasangan hidup
yang memiliki pemahaman yang baik
tentang agama. Karena salah satu
tanda orang yang diberi kebaikan
oleh Allah adalah memiliki
pemahaman agama yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﻔﻘﻬﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ
“Orang yang dikehendaki oleh Allah
untuk mendapat kebaikan akan
dipahamkan terhadap ilmu
agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau
al kafa’ah -secara bahasa- adalah
sebanding dalam hal kedudukan,
agama, nasab, rumah dan selainnya
(Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al
Kafa’ah secara syariat menurut
mayoritas ulama adalah sebanding
dalam agama, nasab (keturunan),
kemerdekaan dan pekerjaan.
(Dinukil dari Panduan Lengkap
Nikah, hal. 175). Atau dengan kata
lain kesetaraan dalam agama dan
status sosial. Banyak dalil yang
menunjukkan anjuran ini. Di
antaranya firman Allah Ta’ala,
ﺍﻟْﺨَﺒِﻴﺜَﺎﺕُ ﻟِﻠْﺨَﺒِﻴﺜِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﺨَﺒِﻴﺜُﻮﻥَ ﻟِﻠْﺨَﺒِﻴﺜَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕُ ﻟِﻠﻄَّﻴِّﺒِﻴﻦَ
ﻭَﺍﻟﻄَّﻴِّﺒُﻮﻥَ ﻟِﻠﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕِ
“Wanita-wanita yang keji untuk
laki-laki yang keji. Dan laki-laki
yang keji untuk wanita-wanita yang
keji pula. Wanita-wanita yang baik
untuk laki-laki yang baik. Dan laki-
laki yang baik untuk wanita-wanita
yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab
shahihnya membuat Bab Al Akfaa
fid Diin (Sekufu dalam agama)
kemudian di dalamnya terdapat
hadits,
ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻷﺭﺑﻊ: ﻟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻟﺤﺴﺒﻬﺎ ﻭﺟﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﻟﺪﻳﻨﻬﺎ،
ﻓﺎﻇﻔﺮ ﺑﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﺮﺑﺖ ﻳﺪﺍﻙ
“Wanita biasanya dinikahi karena
empat hal: karena hartanya,
karena kedudukannya, karena
parasnya dan karena agamanya.
Maka hendaklah kamu pilih karena
agamanya (keislamannya), sebab
kalau tidak demikian, niscaya kamu
akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu hikmah dari anjuran ini
adalah kesetaraan dalam agama
dan kedudukan sosial dapat
menjadi faktor kelanggengan rumah
tangga. Hal ini diisyaratkan oleh
kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu
‘anhu, seorang sahabat yang paling
dicintai oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dinikahkan
dengan Zainab binti Jahsy
radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah
wanita terpandang dan cantik,
sedangkan Zaid adalah lelaki biasa
yang tidak tampan. Walhasil,
pernikahan mereka pun tidak
berlangsung lama. Jika kasus seperti
ini terjadi pada sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi
kita?
3. Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits yang telah
disebutkan, membolehkan kita untuk
menjadikan faktor fisik sebagai
salah satu kriteria memilih calon
pasangan. Karena paras yang cantik
atau tampan, juga keadaan fisik
yang menarik lainnya dari calon
pasangan hidup kita adalah salah
satu faktor penunjang keharmonisan
rumah tangga. Maka
mempertimbangkan hal tersebut
sejalan dengan tujuan dari
pernikahan, yaitu untuk
menciptakan ketentraman dalam
hati.
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻣِﻦْ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﺃَﻥْ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢ ﻣِّﻦْ ﺃَﻧﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟﺎً ﻟِّﺘَﺴْﻜُﻨُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ
“Dan di antara tanda kekuasaan
Allah ialah Ia menciptakan bagimu
istri-istri dari jenismu sendiri agar
kamu merasa tenteram
denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Dalam sebuah hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menyebutkan 4 ciri wanita sholihah
yang salah satunya,
ﻭﺍﻥ ﻧﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺳﺮﺗﻪ
“Jika memandangnya, membuat
suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al
Hakim berkata bahwa sanad hadits
ini shahih)
Oleh karena itu, Islam menetapkan
adanya nazhor, yaitu melihat wanita
yang yang hendak dilamar. Sehingga
sang lelaki dapat mempertimbangkan
wanita yang yang hendak
dilamarnya dari segi fisik.
Sebagaimana ketika ada seorang
sahabat mengabarkan pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa ia akan melamar
seorang wanita Anshar. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺃﻧﻈﺮﺕ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﺎﻝ ﻓﺎﺫﻫﺐ ﻓﺎﻧﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻓﺈﻥ ﻓﻲ
ﺃﻋﻴﻦ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ ﺷﻴﺌﺎ
“Sudahkah engkau melihatnya?”
Sahabat tersebut berkata, “Belum.”
Beliau lalu bersabda, “Pergilah
kepadanya dan lihatlah ia, sebab
pada mata orang-orang Anshar
terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)
4. Subur (mampu menghasilkan
keturunan)
Di antara hikmah dari pernikahan
adalah untuk meneruskan keturunan
dan memperbanyak jumlah kaum
muslimin dan memperkuat izzah
(kemuliaan) kaum muslimin. Karena
dari pernikahan diharapkan
lahirlah anak-anak kaum muslimin
yang nantinya menjadi orang-orang
yang shalih yang mendakwahkan
Islam. Oleh karena itulah,
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganjurkan untuk memilih
calon istri yang subur,
ﺗﺰﻭﺟﻮﺍ ﺍﻟﻮﺩﻭﺩ ﺍﻟﻮﻟﻮﺩ ﻓﺎﻧﻲ ﻣﻜﺎﺛﺮ ﺑﻜﻢ ﺍﻷﻣﻢ
“Nikahilah wanita yang penyayang
dan subur! Karena aku berbangga
dengan banyaknya ummatku.” (HR.
An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan
oleh Al Albani dalam Misykatul
Mashabih)
Karena alasan ini juga sebagian
fuqoha (para pakar fiqih)
berpendapat bolehnya fas-khu an
nikah (membatalkan pernikahan)
karena diketahui suami memiliki
impotensi yang parah. As Sa’di
berkata: “Jika seorang istri setelah
pernikahan mendapati suaminya
ternyata impoten, maka diberi waktu
selama 1 tahun, jika masih dalam
keadaan demikian, maka
pernikahan dibatalkan (oleh
penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin,
Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
Kriteria Khusus untuk Memilih Calon
Suami
Khusus bagi seorang muslimah yang
hendak memilih calon pendamping,
ada satu kriteria yang penting untuk
diperhatikan. Yaitu calon suami
memiliki kemampuan untuk memberi
nafkah. Karena memberi nafkah
merupakan kewajiban seorang suami.
Islam telah menjadikan sikap
menyia-nyiakan hak istri, anak-
anak serta kedua orang tua dalam
nafkah termasuk dalam kategori
dosa besar. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻛﻔﻰ ﺑﺎﻟﻤﺮﺀ ﺇﺛﻤﺎ ﺃﻥ ﻳﻀﻴﻊ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﺕ
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila
ia menyia-nyiakan orang yang
menjadi tanggungannya.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim
berkata bahwa sanad hadits ini
shahih).
Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
membolehkan bahkan menganjurkan
menimbang faktor kemampuan
memberi nafkah dalam memilih
suami. Seperti kisah pelamaran
Fathimah binti Qais radhiyallahu
‘anha:
ﻋﻦ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﻨﺖ ﻗﻴﺲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ : ﺃﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﺒﻲ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﻘﻠﺖ: ﺇﻥ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﺠﻬﻢ ﻭﻣﻌﺎﻭﻳﺔ
ﺧﻄﺒﺎﻧﻲ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ”:ﺃﻣﺎ
ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ، ﻓﺼﻌﻠﻮﻙ ﻻ ﻣﺎﻝ ﻟﻪ ، ﻭﺃﻣﺎ ﺃﺑﻮﺍﻟﺠﻬﻢ، ﻓﻼ ﻳﻀﻊ
ﺍﻟﻌﺼﺎ ﻋﻦ ﻋﺎﺗﻘﻪ
“Dari Fathimah binti Qais
radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lalu aku berkata,
“Sesungguhnya Abul Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah
adalah orang fakir, ia tidak
mempunyai harta. Adapun Abul
Jahm, ia tidak pernah meletakkan
tongkat dari pundaknya”.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
merekomendasikan Muawiyah
radhiyallahu ‘anhu karena miskin.
Maka ini menunjukkan bahwa
masalah kemampuan memberi
nafkah perlu diperhatikan.
Namun kebutuhan akan nafkah ini
jangan sampai dijadikan kriteria
dan tujuan utama. Jika sang calon
suami dapat memberi nafkah yang
dapat menegakkan tulang
punggungnya dan keluarganya kelak
itu sudah mencukupi. Karena Allah
dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak
zuhud (sederhana) dan qana’ah
(menyukuri apa yang dikarunai
Allah) serta mencela penghamba dan
pengumpul harta. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺗﻌﺲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺪﻳﻨﺎﺭ، ﻭﺍﻟﺪﺭﻫﻢ، ﻭﺍﻟﻘﻄﻴﻔﺔ، ﻭﺍﻟﺨﻤﻴﺼﺔ، ﺇﻥ
ﺃﻋﻄﻲ ﺭﺿﻲ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ﻟﻢ ﻳﺮﺽ
“Celakalah hamba dinar, celakalah
hamba dirham, celakalah hamba
khamishah dan celakalah hamba
khamilah. Jika diberi ia senang,
tetapi jika tidak diberi ia
marah.” (HR. Bukhari).
Selain itu, bukan juga berarti calon
suami harus kaya raya. Karena
Allah pun menjanjikan kepada para
lelaki yang miskin yang ingin
menjaga kehormatannya dengan
menikah untuk diberi rizki.
ﻭَﺃَﻧﻜِﺤُﻮﺍ ﺍﻟْﺄَﻳَﺎﻣَﻰ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴﻦَ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻛُﻢْ ﻭَﺇِﻣَﺎﺋِﻜُﻢْ ﺇِﻥ
ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻓُﻘَﺮَﺍﺀ ﻳُﻐْﻨِﻬِﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦ ﻓَﻀْﻠِﻪِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang
masih membujang di antara kalian.
Jika mereka miskin, Allah akan
memberi kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur:
32)
Kriteria Khusus untuk Memilih Istri
Salah satu bukti bahwa wanita
memiliki kedudukan yang mulia
dalam Islam adalah bahwa terdapat
anjuran untuk memilih calon istri
dengan lebih selektif. Yaitu dengan
adanya beberapa kriteria khusus
untuk memilih calon istri. Di antara
kriteria tersebut adalah:
1. Bersedia taat kepada suami
Seorang suami adalah pemimpin
dalam rumah tangga. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala,
ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)
Sudah sepatutnya seorang pemimpin
untuk ditaati. Ketika ketaatan
ditinggalkan maka hancurlah
‘organisasi’ rumah tangga yang
dijalankan. Oleh karena itulah,
Allah dan Rasul-Nya dalam banyak
dalil memerintahkan seorang istri
untuk taat kepada suaminya, kecuali
dalam perkara yang diharamkan.
Meninggalkan ketaatan kepada
suami merupakan dosa besar,
sebaliknya ketaatan kepadanya
diganjar dengan pahala yang sangat
besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَﺖِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺧَﻤْﺴَﻬَﺎ، ﻭَﺻَﺎﻣَﺖْ ﺷَﻬْﺮَﻫَﺎ، ﻭَﺣَﺼَﻨَﺖْ
ﻓَﺮْﺟَﻬَﺎ، ﻭَﺃَﻃَﺎﻋَﺖْ ﺑَﻌْﻠَﻬَﺎ، ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﺃَﻱِّ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺷَﺎﺀَﺕْ
“Apabila seorang wanita
mengerjakan shalat lima waktunya,
mengerjakan puasa di bulan
Ramadhan, menjaga kemaluannya
dan menaati suaminya, maka ia
akan masuk surga dari pintu mana
saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu
Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)
Maka seorang muslim hendaknya
memilih wanita calon pasangan
hidupnya yang telah menyadari
akan kewajiban ini.
2. Menjaga auratnya dan tidak
memamerkan kecantikannya kecuali
kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan
syar’i adalah kewajiban setiap
muslimah. Seorang muslimah yang
shalihah tentunya tidak akan
melanggar ketentuan ini. Allah
Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞ ﻟِّﺄَﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻳُﺪْﻧِﻴﻦَ
ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦ ﺟَﻠَﺎﺑِﻴﺒِﻬِﻦَّ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺩْﻧَﻰ ﺃَﻥ ﻳُﻌْﺮَﻓْﻦَ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺆْﺫَﻳْﻦَ ﻭَﻛَﺎﻥَ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭﺍً ﺭَّﺣِﻴﻤﺎً
“Wahai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mengabarkan dua kaum
yang kepedihan siksaannya belum
pernah beliau lihat, salah satunya
adalah wanita yang memamerkan
auratnya dan tidak berbusana yang
syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻧﺴﺎﺀ ﻛﺎﺳﻴﺎﺕ ﻋﺎﺭﻳﺎﺕ ﻣﻤﻴﻼﺕ ﻣﺎﺋﻼﺕ ﺭﺅﺳﻬﻦ ﻛﺄﺳﻨﺔ
ﺍﻟﺒﺨﺖ ﺍﻟﻤﺎﺋﻠﺔ ﻻ ﻳﺪﺧﻠﻦ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﻻ ﻳﺠﺪﻥ ﺭﻳﺤﻬﺎ ﻭﺇﻥ ﺭﻳﺤﻬﺎ
ﻟﻴﻮﺟﺪ ﻣﻦ ﻣﺴﻴﺮﺓ ﻛﺬﺍ ﻭﻛﺬﺍ
“Wanita yang berpakaian namun
(pada hakikatnya) telanjang yang
berjalan melenggang, kepala mereka
bergoyang bak punuk unta. Mereka
tidak akan masuk surga dan bahkan
mencium wanginya pun tidak.
Padahal wanginya surga dapat
tercium dari jarak sekian dan
sekian.” (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil-dalil yang ada,
para ulama merumuskan syarat-
syarat busana muslimah yang syar’i
di antaranya: menutup aurat
dengan sempurna, tidak ketat,
tidak transparan, bukan untuk
memamerkan kecantikan di depan
lelaki non-mahram, tidak meniru
ciri khas busana non-muslim, tidak
meniru ciri khas busana laki-laki,
dll.
Maka pilihlah calon istri yang
menyadari dan memahami hal ini,
yaitu para muslimah yang berbusana
muslimah yang syar’i.
3. Gadis lebih diutamakan dari
janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menganjurkan agar menikahi
wanita yang masih gadis. Karena
secara umum wanita yang masih
gadis memiliki kelebihan dalam hal
kemesraan dan dalam hal
pemenuhan kebutuhan biologis.
Sehingga sejalan dengan salah satu
tujuan menikah, yaitu menjaga dari
penyaluran syahawat kepada yang
haram. Wanita yang masih gadis
juga biasanya lebih nrimo jika sang
suami berpenghasilan sedikit. Hal ini
semua dapat menambah kebahagiaan
dalam pernikahan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻷﺑﻜﺎﺭ ، ﻓﺈﻧﻬﻦ ﺃﻋﺬﺏ ﺃﻓﻮﺍﻫﺎ ﻭ ﺃﻧﺘﻖ ﺃﺭﺣﺎﻣﺎ ﻭ
ﺃﺭﺿﻰ ﺑﺎﻟﻴﺴﻴﺮ
“Menikahlah dengan gadis, sebab
mulut mereka lebih jernih, rahimnya
lebih cepat hamil, dan lebih rela
pada pemberian yang sedikit.” (HR.
Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al
Albani)
Namun tidak mengapa menikah
dengan seorang janda jika melihat
maslahat yang besar. Seperti
sahabat Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhu yang menikah
dengan janda karena ia memiliki 8
orang adik yang masih kecil sehingga
membutuhkan istri yang pandai
merawat anak kecil, kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun menyetujuinya (HR.
Bukhari-Muslim)
4. Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang yang
hendak meminang seorang wanita
untuk mencari tahu tentang nasab
(silsilah keturunan)-nya.
Alasan pertama, keluarga memiliki
peran besar dalam mempengaruhi
ilmu, akhlak dan keimanan
seseorang. Seorang wanita yang
tumbuh dalam keluarga yang baik
lagi Islami biasanya menjadi seorang
wanita yang shalihah.
Alasan kedua, di masyarakat kita
yang masih awam terdapat
permasalahan pelik berkaitan
dengan status anak zina. Mereka
menganggap bahwa jika dua orang
berzina, cukup dengan menikahkan
keduanya maka selesailah
permasalahan. Padahal tidak
demikian. Karena dalam ketentuan
Islam, anak yang dilahirkan dari
hasil zina tidak di-nasab-kan
kepada si lelaki pezina, namun di-
nasab-kan kepada ibunya.
Berdasarkan hadits,
ﺍﻟﻮَﻟَﺪُ ﻟِﻠْﻔِﺮَﺍﺵِ ، ﻭَﻟِﻠْﻌَﺎﻫِﺮِ ﺍﻟْﺤَﺠْﺮُ
“Anak yang lahir adalah milik
pemilik kasur (suami) dan pezinanya
dihukum.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
menetapkan anak tersebut di-
nasab-kan kepada orang yang
berstatus suami dari si wanita. Me-
nasab-kan anak zina tersebut
kepada lelaki pezina menyelisihi
tuntutan hadits ini.
Konsekuensinya, anak yang lahir
dari hasil zina, apabila ia
perempuan maka suami dari ibunya
tidak boleh menjadi wali dalam
pernikahannya. Jika ia menjadi wali
maka pernikahannya tidak sah, jika
pernikahan tidak sah lalu
berhubungan intim, maka sama
dengan perzinaan. Iyyadzan billah,
kita berlindung kepada Allah dari
kejadian ini.
Oleh karena itulah, seorang lelaki
yang hendak meminang wanita
terkadang perlu untuk mengecek
nasab dari calon pasangan.
Demikian beberapa kriteria yang
perlu dipertimbangkan oleh seorang
muslim yang hendak menapaki
tangga pernikahan. Nasehat kami,
selain melakukan usaha untuk
memilih pasangan, jangan lupa
bahwa hasil akhir dari segala usaha
ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla.
Maka sepatutnya jangan
meninggalkan doa kepada Allah
Ta’ala agar dipilihkan calon
pasangan yang baik. Salah satu doa
yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan shalat Istikharah.
Sebagaimana hadits dari Jabir
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata,
ﺇﺫﺍ ﻫﻢ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺑﺄﻣﺮ ﻓﻠﻴﺼﻞِّ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺛﻢ ﻟﻴﻘﻞ : ” ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﺇﻧﻲ ﺃﺳﺘﺨﻴﺮﻙ ﺑﻌﻠﻤﻚ …”
“Jika kalian merasa gelisah
terhadap suatu perkara, maka
shalatlah dua raka’at kemudian
berdoalah: ‘Ya Allah, aku
beristikharah kepadamu dengan
ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar