VIVAnews –Tim geologi dari Universitas Jendral Soedirman,
Purwokerto akan berjalan kaki menembus hutan dan belukar, melewati sungai,
menuju ke lokasi Gunung Padang pada Kamis 31 Mei 2012, mulai pukul 05.00 WIB.
Mereka hendak meneliti struktur batu aneh di gunung yang masuk wilayah Desa
Salebu, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. Perlu empat jam menuju ke sana dari
desa terdekat.
Salah satu anggota
tim, geolog Muhammad Aziz mengatakan, tim akan mencari tahu apakah tumpukan batu
setinggi 30 meter yang bentuknya mengecil ke atas mirip piramida, terbentuk
secara alami atau hasil campur tangan manusia. “Dari hasil pengamatan sementara
di peta geologi, di daerah itu memang ada potensi batuan jenis tersebut,” kata
dia kepada VIVAnews.com, Rabu 30 Mei 2012.
Namun, dia
menambahkan, jika ditemukan semacam pahatan, bisa jadi itu adalah sebuah karya
manusia. “Besok akan kami pastikan di lokasi,” kata dia. Tim itu setidaknya
akan menjawab teka teki dugaan adanya peradaban kuno yang tertimbun di dalam
Gunung Padang Cilacap itu.
Sejak lama
masyarakat mengetahui ada tumpukan batu raksasa di lokasi terpencil di kawasan
Perhutani itu. Mereka bahkan menganggapnya tempat keramat. Sepengetahuan warga,
itu adalah bahan bangunan keraton timur Padjajaran yang tak jadi dibangun.
Keberadaan Gunung
Padang Cilacap baru terkuak secara luas ke publik pada tahun 2008. Kabar itu
sampai ke telinga para petinggi Kepala Balai Pelestari Peninggalan Purbakala
(BP3) Jawa Tengah yang saat itu langsung mengirim dua petugasnya ke Majenang.
Pelaksana Tugas BP3
Jawa Tengah, Zainul Azah, mengatakan dari pengamatan empat tahun lalu, pihaknya
belum menyimpulkan apakah situs ini adalah hasil kreativitas manusia zaman
dulu.
Setidaknya ada dua
analisis yang dipakai untuk melihat situs tersebut. Pertama, secara geologi.
Bisa jadi tekstur batuan tersusun rapi adalah peristiwa alami. “Kejadian
seperti ini biasanya muncul karena sebuah proses intrusi, sehingga terjadi
sesar, dan menyebabkan magma menerobos celah celah,” kata dia.
Namun, dari
analisis secara arkeologi, kondisi kuncian batu yang terbentuk rapi
mengindikasikan situs Gunung Padang Cilacap itu sebuah hasil karya manusia
zaman dulu. Zainul menegaskan, perlu kehati-hatian dan analisis lengkap
untuk menentukan status batuan itu. "Untuk memastikan ini, perlu ada
sebuah penelitian mendalam mengenai situs Gunung Padang Majenang sebelum
melakukan langkah lanjutan," kata dia.
Jika dari hasil
penelitian para ahli menyatakan bahwa situs Gunung Padang Majenang merupakan
hasil karya manusia, BP3 menyatakan baru akan memasukkan program konservasi
situs Gunung Padang Majenang pada tahun 2013. Hingga kini, situs Gunung Padang
Cilacap belum masuk dalam daftar peninggalan purbakala Jawa Tengah.
Beda nasib
dengan Cianjur
Dari penampakannya,
ada benang merah menghubungkan Gunung Padang Cilacap dan Cianjur, yang letaknya
sama-sama di selatan Jawa yang banyak ditemukan temuan prasejarah Neolitik.
Arkeolog
Universitas Indonesia, Ali Akbar mengatakan, kedua situs itu memiliki struktur
dan konstruksi bangunan hampir sama. Ia juga menduga, tumpukan batu di Gunung
Padang Cilacap tak terbentuk secara alamiah. "Batu andesit piroksen itu
memang bentuknya columnar joint, yang terbentuk di dalam gunung
berapi. Tapi itu kemudian dimanfaatkan manusia, terlihat ada bagian yang
dipatahkan dan dihaluskan," kata Ali Akbar, saat ditemui VIVAnews di
Kampus UI.
Batu kuncian mirip
permainan tetris di Gunung Padang menjadi faktor yang memperkuat dugaan itu.
Tak seperti Gunung
Padang Cilacap yang masih tanda tanya besar, Gunung Padang Cianjur, Jawa Barat
sudah diteliti oleh tim ilmuwan. Mulai 15 Mei hingga 30 Juni mendatang,
eskavasi sedang dilakukan di situs megalitik itu. Dipimpin arkeolog dari UI.
Penelitian di situs
ini kembali mengemuka setelah Tim Peneliti Katastropik Purba yang difasilitasi
Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam, Andi Arief,
melakukan penelitian yang disertai pengeboran. Hasilnya, berdasarkan carbon
dating, situs dengan konstruksi buatan manusia ini diduga berasal dari 10.000
SM.
Meski begitu, Ali Akbar menegaskan, penelitian yang dilakukan pihaknya adalah penelitian dengan metode arkeologi, yang berbeda. Mereka juga tidak ingin bercampur dengan metode yang sebelumnya dilakukan ahli geologi.
Dia menjelaskan, berdasarkan survei di permukaan di Gunung Padang, sebelum dilakukan ekskavasi, ditemukan ada struktur baru di sisi timur Gunung Padang.
Ali Akbar menduga struktur batu yang ditemukan teratur itu merupakan penyangga bangunan utama punden berundak. Dugaannya, bentuk penyangga itu sama seperti struktur penyangga bangunan di situs Machu Picchu di Peru. "Ada undakan batu yang disusun, kemudian ada permukaan tanah. Sepertinya untuk menopang agar bangunan tidak longgar," ucap Ali Akbar.
Ali juga menduga struktur yang sama ada di sisi barat. Namun, struktur di sisi barat sudah sulit untuk ditemukan, karena banyak yang kini berubah menjadi pemukiman penduduk.
Dengan temuan struktur baru di sisi timur ini, Ali Akbar menduga luas bangunan Gunung Padang terbilang istimewa. "Bisa sampai 25 hektar kalau sampai bawah bukit. Tapi mungkin juga bisa hingga 75 hektar kalau sampai lembah," tuturnya.
Selain menemukan struktur, dari ekskavasi yang dilakukan di teras 4, tim arkeologi menemukan pecahan gerabah. Temuan ini dianggap penting untuk mengungkap fungsi punden berundak Gunung Padang. "Selama ini dibilang fungsinya untuk pemujaan. Namun tentu harus disertai temuan pendukung," ujarnya.
Menurut Ali, serpihan yang ditemukan itu juga memperlihatkan jejak buatan, berupa bekas tekanan jari. "Gerabah ini dibuat dengan menggunakan pinching, masih dengan tekanan jari dan belum menggunakan roda putar," tuturnya.
Meski begitu, Ali Akbar tidak mau gegabah untuk menyebutkan fungsi gerabah, dan kaitannya dengan konteks temuan di teras 4 kompleks Gunung Padang. "Fungsinya masih diselidiki," ucapnya.
Meski begitu, Ali Akbar menegaskan, penelitian yang dilakukan pihaknya adalah penelitian dengan metode arkeologi, yang berbeda. Mereka juga tidak ingin bercampur dengan metode yang sebelumnya dilakukan ahli geologi.
Dia menjelaskan, berdasarkan survei di permukaan di Gunung Padang, sebelum dilakukan ekskavasi, ditemukan ada struktur baru di sisi timur Gunung Padang.
Ali Akbar menduga struktur batu yang ditemukan teratur itu merupakan penyangga bangunan utama punden berundak. Dugaannya, bentuk penyangga itu sama seperti struktur penyangga bangunan di situs Machu Picchu di Peru. "Ada undakan batu yang disusun, kemudian ada permukaan tanah. Sepertinya untuk menopang agar bangunan tidak longgar," ucap Ali Akbar.
Ali juga menduga struktur yang sama ada di sisi barat. Namun, struktur di sisi barat sudah sulit untuk ditemukan, karena banyak yang kini berubah menjadi pemukiman penduduk.
Dengan temuan struktur baru di sisi timur ini, Ali Akbar menduga luas bangunan Gunung Padang terbilang istimewa. "Bisa sampai 25 hektar kalau sampai bawah bukit. Tapi mungkin juga bisa hingga 75 hektar kalau sampai lembah," tuturnya.
Selain menemukan struktur, dari ekskavasi yang dilakukan di teras 4, tim arkeologi menemukan pecahan gerabah. Temuan ini dianggap penting untuk mengungkap fungsi punden berundak Gunung Padang. "Selama ini dibilang fungsinya untuk pemujaan. Namun tentu harus disertai temuan pendukung," ujarnya.
Menurut Ali, serpihan yang ditemukan itu juga memperlihatkan jejak buatan, berupa bekas tekanan jari. "Gerabah ini dibuat dengan menggunakan pinching, masih dengan tekanan jari dan belum menggunakan roda putar," tuturnya.
Meski begitu, Ali Akbar tidak mau gegabah untuk menyebutkan fungsi gerabah, dan kaitannya dengan konteks temuan di teras 4 kompleks Gunung Padang. "Fungsinya masih diselidiki," ucapnya.
Sementara, soal
usia bangunan, Ali Akbar mengaku belum sepakat dengan hasil penanggalan carbon
dating yang dilakukan Tim Peneliti Katastropik Purba, yang menyebut situs
Gunung Padang berasal dari 10.000 SM. "Dugaan arkeolog masih dari 2.500
SM," kata dia. Untuk mendukung ini, tim arkeologi pun akan melakukan
penelitian carbon dating secara terpisah.(np)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar