Sejak 17 Agustus 1945,
Proklamasi Kemerdekaan, ternyata belum seutuhnya membebaskan masyarakat
Indonesia dari keterbelakangan. Pada kurun waktu yang lama, gagasan membangun
(rencana pembangunan yang bertahap) sesuai Repelita dan Pelita, yang menjadi Kebijakan
Top Down Orde Baru, ternyata tidak sanggup meniadakan
kemiskinan.
Di dalam frame Repelita dan
pelita,
dengan alasan stabilitas, terjadi penindasan serta penyingkiran terhadap
masyarakat yang menolak kebijakan top down. Mereka disingkirkan karena dituduh
sebagai penghambat pembangunan dan kemajuan. Tidak
semua pembangunan fisik dan spiritual memperhatikan kepentingan masyarakat.
Akibatnya, tujuan pembangunan nasional untuk menciptakan atau mencapai
masyarakat adil dan makmur sesuai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
pembukaan UUD 45, hanya terwujud pada sebagian masyarakat atau kolompok yang
dekat dengan pusat kekuasaan tingkat pusat sampai di pelosok-pelosok negeri.
Dan paradoksnya adalah, di sana-sini, tercipta komunitas masyarakat tersisih dan
tertinggal karena korban pembangunan sebagai si miskin.
Lalu, di manakah kita?
Menelusuri sumber kemunculan kaum
miskin merupakan sesuatu yang cukup kompleks; ada beberapa catatan yang
bisa menjadi acuan tentang adanya kaum miskin dengan kemiskinannya (terutama di
Indonesia), yaitu:
Pertama.
Mereka ada karena angka kelahiran yang tinggi. Kelompok masyarakat yang tidak
maju (ntuk sementara kita memakai
kaca mata kemajuan) sering disebut kaum miskin yang sarat dengan kemiskinan.
Kaum miskin (plus kemiskinan) ini juga mengalami pertumbuhan dengan pesat atau
bertambah banyak jumlahnya (terutama karena angka kelahiran yang tingi). Angka
kelahiran kaum miskin di negara-negara dunia ketiga (termasuk pada
wilayah-wilayah tertentu di Indonesia) yang tinggi, pada konteks tertentu,
tidak seimbang dengan tingkat kematian. Pertumbuhan kaum miskin yang sangat
pesat ini terjadi hampir semua lokasi atau tempat mereka berada.
Dengan
demikian, pada umumnya mereka (kaum miskin) hampir tidak mempunyai apa-apa
selain anak [anak-anak]; karena mereka tidak banyak berbuat apa-apa, selain
prokreasi dan reproduksi.
Kedua.
Mereka tetap miskin karena menutup diri dari pengaruh luar. Tatanan serta keteraturan suatu komunitas masyarakat (di
lokasi komunitas itu) merupakan warisan secara turun-temurun. Dan jika
komunitas itu mempunyai kontak dengan yang lain, maka akan terjadi saling
meniru kemudian masing-masing mengembangkan hasil tiruan itu sesuai dengan
sikonnya. Dengan itu, dapat dipahami bahwa hubungan sosial (antar manusia, dan
antar masyarakat) bersifat mempengaruhi satu sama lain. Namun, tidak menutup
kemungkinan, walau terjadi interaksi, ada kelompok atau komunitas masyarakat
(karena situasi tertentu) yang tidak mengembangkan diri, sehingga tetap berada
pola-pola hidup dan kehidupan statis. Akibatnya, mereka tidak mengalami
kemajuan yang berarti; (sekali lagi, dengan kaca mata kemajuan), mereka tetap
dalam keberadaanya yaitu kemiskinan.
Ketiga.
Mereka tercipta karena korban ketidakadilan para pengusaha. Kemajuan sebagian
masyarakat global [(ermasuk Indonesia) yang mencapai era teknologi dan industri
ternyata tidak bisa menjadi gerbong penarik untuk menarik sesamanya agar
mencapai kesetaraan. Para pengusaha teknologi dan industri tetap membutuhkan
kaum miskin yang pendidikannya terbatas untuk dipekerjakan sebagai buruh. Dan
dengan itu, karena alasan kurang pendidikan, mereka dibayar di bawah standar
atau sangat rendah, serta umumnya, tanpa tunjangan kesehatan, transportasi,
uang makan, dan lain sebagianya.
Para
buruh tersebut harus menerima keadaan itu karena membutuhkan nasi dan pakaian
untuk bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka tidak mampu meningkatkan
kualitas hidupnya. Secara langsung, mereka telah menjadi korban ketidakadilan
para pengusaha (konglomerat) hitam yang sekaligus sebagai penindas sesama
manusia dan pencipta langgengnya kemiskinan.
Para
buruh (laki-laki dan perempuan) harus menderita karena bekerja selama 12 jam
per hari (bahkan lebih), walau upahnya tak memadai. Kondisi buruk yang dialami
oleh para buruh tersebut juga membuat dirinya semakin terpuruk di tengah
lingkungan sosial kemajuan di sekitarnya (terutama para buruh migran pada
wilayah metropolitan). Sistem kerja yang hanya mengutamakan keuntungan majikan,
telah memaksa para buruh untuk bekerja demikian keras.
Sehingga
kehidupan yang standar, wajar dan normal, yang seharusnya dialami oleh para
buruh, tidak lagi dinikmati oleh mereka. Fisik dan mental para buruh (yang giat
bekerja tetapi tetap miskin), telah dipaksa menjadi bagian dari instrumen mekanis.
Mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan irama, kecepatan dan ritme
mesin-mesin pabrik dan ritme bising mesin otomotif; mesin-mesin itu, memberikan
perubahan dan keuntungan pada pemiliknya, namun sang buruh tetap berada pada
kondisi kemiskinan. Dengan tuntutan itu, mereka tak memiliki kebebasan, kecuali
hanya untuk melakukan aktivitas pokok makhluk hidup (makan, minum, tidur) di
sekitar mesin-mesin yang menjadi tanggungjawabnya.
Keempat.
Mereka tetap ada karena adanya pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh penguasa
dan pengusaha. Sikon hidup dan kehidupan komunitas masyarakat (mereka yang
tersisih dan tertinggal) miskin diperparah lagi dengan tanpa kesempatan
memperoleh pendidikan, tingkat kesehatan rendah, serta berbagai keterbatasan
dan ketidakmampuan lainnya. Mereka
ada di mana-mana, pada daerah terpencil, di tepi-tepi pantai, pinggiran kali
dan rel kereta api, bahkan wilayah-wilayah atau daerah-daerah kumuh di
perkotaan. Kompleksitas masyarakat miskin seperti itu, sengaja dibiarkan begitu saja oleh para penguasa dan pengusaha agar tetap
terjadi suatu ketergantungan.
Jika ada
bencana alam, mereka dibutuhkan agar bisa melakukan charity advertenrial, atau tindakan bantuan
sosial yang mengandung nilai iklan bahwa sang pemberi bantuan sebagai orang baik
hati serta mempunyai kepedulian kepada kaum miskin (misalnya, jika terjadi
bencana tsunami, banjir, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran). Perhatian
kepada kaum miskin yang hanya berupa charity
advertenrial ini, bisa dan biasa dilakukan oleh pejabat, penguasa, tokoh
agama, politik, artis, dan lain sebagainya.
Dengan
itu menghasilkan kaum miskin yang tetap menengadah tangan untuk meminta
belaskasihan akibat penderitaannya. Mereka memeriksa kesehatan jika ada bhakti
sosial kesehatan; makan dengan nilai gizi baik karena ada bantuan serta droping pangan, dan seterusnya. Mereka dihitung, jika tiba saat
membutuhkan dukungan suara agar menjadi pemimpin daerah ataupun anggota
legislatif. Mereka diperlukan, jika ingin melakukan demonstrasi (plus
kerusuhan) melawan pemerintah.
Bahkan,
jumlah mereka dikurangi karena salah satu ukuran keberhasilan pemerintah adalah
berkurangnya masyarakat atau orang miskin.
Atau,
jumlah mereka ditambah karena dipakai oleh kaum oposan (kaum oposisi yang
dimaksud adalah orang-orang di luar lingkaran pemerintah) sebagai salah satu
tolok ukur ketidakberhasilan serta ketidakbecusan pemerintah mengelola negara.
Sementara itu, andil penguasa wilayah dan nasional (yang sering
berkonspirasi dengan pengusaha hitam) untuk meningkatkan pertumbuhan masyarakat
miskin pun cukup besar. Berbagai rekayasa jahat, pengusaha (konglomerat hitam)
memakai tangan-tangan kotor penguasa untuk membebaskan lahan (dengan alasan
pembangunan fasilitas umum) dengan nilai harga di bawah standar.
Lahan
atau persil dengan mudah berpindah kepemilikan (kepada para penguasa hitam dan jahat), karena
pemiliknya (biasanya mereka adalah penduduk asli yang kurang pendidikan)
tergiur sejumlah rupiah. Namun, karena ketidakmampuan memanage keuangan, dalam tempo tidak terlalu lama mereka menjadi kaum
miskin baru (walau sesaat yang lalu mereka adalah orang kaya baru karena
menjual tanah).
Seringkali
penguasa dengan slogan politis memerangi kemiskinan, maka siapapun yang
mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, politik dan keamanan serta pembangunan
(akan) dianggap sebagai musuh. Karena itu banyak tanah milik komunitas suku
bangsa yang tiba-tiba diperlukan area perkebunan, bandara, lapangan golf,
pabrik, dan lain-lain. Ketika mereka (pemilik tanah) mempertahankan
kepemilikannya, mereka dianggap sebagai penghambat pembangunan.
Demikian juga, penyingkiran terhadap masyarakat, jika wilayah atau
di alam bumi pada lokasi tempat tinggal mereka mengandung mineral atau barang
tambang lainnya. Banyak masyarakat yang bermukim di tempat yang dianggap salah karena desanya lebih
menguntungkan untuk dibangun waduk raksasa. Demikian pula ada masyarakat yang
tiba-tiba harus menerima nasib untuk dipindahkan dari wilayah permukimannya,
karena tanah mereka lebih cocok untuk proyek (mercu suar) pembangunan, serta
tempat latihan perang. Dan tidak sedikit masyarakat kota tadinya berkecukupan
tersingkir ke wilayah pinggiran dengan kemiskinan. Bahkan tidak sedikit yang
akhirnya menjadi kaum urban yang mengemis serta mengais-ngais sampah di
metropolitan untuk mempertahankan hidupnya.
Di sini,
jelas bahwa adanya kaum miskin bukan semata-mata karena sebagai paradoks
pembangunan, tetapi juga karena pembiaran-pembiaran pengusaha dan penguasa
terhadap keberadaan mereka agar sewaktu-waktu dapat dipakai atau difungsikan
sebagai salah satu alat untuk mencapai kedudukan, ketenaran, kekuasaan, serta
rencana kejahatan yang tersembunyi.
Kelima. Mereka menjadi miskin karena
manajemen keluarga yang buruk. Umumnya, pada masyarakat (kota dan desa)
ada orang-orang yang dikategorikan sebagai orang kaya. Dalam arti mereka
mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan lainnya. Pada masyarakat
desa, kelebihan mereka yang disebut orang kaya antara lain mempunyai beberapa
persil tanah, lebih dari satu bidang sawah serta ladang, memiliki puluhan atau
ratusan ekor ternak, bahkan mempunyai lebih dari satu isteri. Sedangkan pada
masyarakat perkotaan, mereka mempunyai lebih dari satu rumah dan mobil,
tabungan dan deposito, pekerjaan yang mapan, dan lain-lain.
Walau mungkin tidak bisa menjadi
acuan, penilaian tentang ciri-ciri orang kaya seperti itu, sudah menjadi
pandangan umum dalam masyarakat. Namun, sejalan dengan perubahan waktu,
keturunan (pada umumnya generasi ketiga dan keempat) orang-orang yang tadinya
kaya tersebut ternyata menjadi miskin. Masyarakat atau orang lain yang
mengenalnya hanya bisa bercerita dan mengenang orang tua atau kakek dan nenek
mereka yang kaya raya.
Mengapa
kondisi tersebut bisa terjadi?
Hal
tersebut terjadi karena keluarga-keluarga kaya itu salah memanage keuangan
ataupun harta bendanya. Bisa saja terjadi, anak-anak orang kaya (karena
mengandalkan kekayaannya) tidak mau menata diri dengan pendidikan yang baik,
akibatnya mereka menjadi orang kaya yang bodoh.
Dalam sikon
kebodohan itu, mereka tidak mampu mengelola hartanya dengan baik dan benar.
Mereka hanya bisa menjual harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
kehidupan. Akibatnya dalam kurun waktu tertentu harta benda mereka habis,
sehingga lambat laun mereka menjadi miskin.
==================
Jadi,
kemiskinan muncul karena kompleksitas carut marut sikap manusia terhadap
sesamanya; muncul karena diciptakan oleh manusia; berkembang seiring dengan
pertumbuhan masyarakat; akibat tindakan kriminal (kejahatan dan semua
bentuk-bentuknya) terhadap sesama manusia; semakin berkembang akibat peperangan
(antar bangsa, suku, komunitas agama) genocide,
sentimen agama, tekanan politik, penindasan fisik serta psikologis terhadap
orang lain.
Juga,
kemiskinan bisa ada karena perencanaan terstruktur suatu kelompok masyarakat
tertentu (yang lebih kuat, mayoritas) kepada yang lain. Dengan demikian, orang
kaya dan orang miskin, kemiskinan dan kekayaan, bagaikan dua sisi mata uang;
tetapi sekaligus terdapat jurang pemisah dan saling tidak peduli satu sama
lain.
Dengan demikian, dampak dari kemiskinan menyangkut semua aspek
hidup dan kehidupan (yang utuh) seseorang, sekaligus menembus lingkungan
tatanan sosial masyarakat dan bangsa.
Memang, di beberapa tempat (karena alasan-alasan keagamaan dan
budaya), ada kaum miskin yang nrimo keadaannya karena bersifat fatalistik atau
terima nasib semuanya itu sebagai
kehendak ilahi; Sang Ilahi lah yang menghendaki
mereka miskin serta bergelut dengan kemiskinan; bagi mereka kemiskinan serta
sikon serba kekurangan adalah cobaan TUHAN. Nah …
Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar