Cinta terbesar dan cinta hakiki bagi orang yang beriman ialah cinta kepada Allah. Sehingga cinta kepada Allah-lah yang seharusnya menjadi motivator terbesar dan tidak terbatas

Minggu, 17 Maret 2013

Pejabat Menghianati Kepercayaan Rakyat


Disaat Pejabat Publik Mengkhianati Kepercayaan Rakyat.

Pemilu yang digelar setiap lima tahun sekali di negeri ini, mulai dari pemilihan kepala daerah, legislatif dari berbagai partai, bahkan pemilihan presiden. Dari semua kandidat yang akan mencalonkan diri, pada saat itu memohon kepada rakyat untuk minta suara dukungan dengan obral janji manis, dan siap menjadi pemimpin amanah sebagaimana yang telah dipercayakan rakyat saat memilihnya. Dan akan memperjuangankan aspirasi rakyat kecil serta memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Dengan janji manis tersebut, akhirnya rakyatpun mau memilih untuk menjadikan salah satu calon menjadi seorang pemimpin pejabat publik. Dengan harapan janji manis dan sejuta harapan yang terlanjur terucap kepada mereka dapat menjadi nyata untuk kesejahtaraan rakyat.
Sebut saja Aceng Fikri, SAg. Bupati Kabupaten Garut yang sangat luar biasa bisa merebut hati rakyat pada pemilukada tahun 2008, hingga menghantarkannya menjadi orang nomor 1 di Garut dari jalur independent. Dengan mengalahkan pesaingnya dari partai Golkar dan PDIP.
Namun sangat disayangkan kepercayaan yang diberikan rakyat Garut kepada Aceng, untuk menjadi seorang pemimpin sekaligus pejabat publik yang seharusnya mampu memberikan panutan bagi rakyatnya. Justru dikhianatinya dengan perbuatan amoral, nikah kilat terhadap gadis dibawah umur. Akibat kasus yang menimpahnya ini Aceng dituntut lengser dari jabatannya oleh masyarakat Garut.
Prilaku pejabat publik yang berbuat amoral ini bukan hanya dilakukan oleh Aceng saja, sebelumnya anggota DPR Yahya Zaini yang kariernya tumbang setelah video mesumnya dengan seorang artis beredar luas. Anggota DPR Wa Ode Nurahayati, misalnya, yang divonis enam tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi, bahkan masih bisa bertahan menjadi anggota DPR ketika kasusnya mulai bergulir. Nasibnya sangat berbeda dengan Arifinto, anggota DPR yang langsung dicopot partainya karena ketahuan membuka situs porno saat sidang paripurna.
Hal serupa terjadi pada Max Moein, anggota DPR yang dipecat Badan Kehormatan (BK) DPR setelah foto-fotonya yang tidak senonoh beredar. Melihat kondisi ini kita dapat menyimpulkan, bahwa jangankan untuk memimpin rakyatnya, bahkan para pemimpin dinegeri ini tak dapat memimpin diri mereka dengan memiliki moral yang terpuji.
Kita selalu disuguhi informasi mengenai pe­lang­garan-pelanggaran yang dila­kukan oleh pejabat publik. Pelanggaran yang dilakukan atas nama jabatan ataupun atas nama pribadi. korupsi, perebutan kekuasaan, asusila, dan perbuatan amoral lainnya. Hingga membuat kita bertanya tanya tentang moral pejabat publik di negeri ini. Perbuatan yang mereka lakukan menandakan lemahnya moral pejabat di negeri ini, sekalipun mereka menyandang gelar pendidikan yang tinggi, seperti Aceng Fikri seorang sarjana agama.
Pada dasarnya pejabat publik merupakan orang-orang yang diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas dalam jaba­tan publik untuk melaksanakan tugas bangsa dan negara sesuai aturan yang ada. Mulai dari eksekutif, legis­latif, yudikatif, pejabat pusat, pejabat daerah, dan pejabat lembaga negara lainnya. Semuanya memegang posisi penting bagi tujuan negara. Karena dari kebijakan merekalah tujuan negara bisa dijalankan. Itulah sebabnya masyarakat memilih mereka, karena percaya dengan kemampuan untuk menjalankan tugas penting tersebut. Wajar jika orang-orang pili­han ini menjadi panutan bagi masya­rakat umum. Sayangnya setelah diberi kepercayaan justru mereka mengkhianatinya dengan berbuat tidak amanah.
Achmad Mubarok mengemukakan bahwa pemimpin yang bermoral adalah pemimpin yang dibimbing oleh nurani politik. Dalam perspektif Psikologi Islami, perangkat kejiwaan manusia terdiri dari akal, hati (qalbu), nurani (mata hati), syahwat (penggerak tingkah laku), dan hawa nafsu (bersifat destruktif). Kelima hal tersebut dipimpin oleh hati. Maka, jika seseorang berhati baik, maka akhlaknya juga baik. Begitu pula jika hatinya busuk, akhlaknya juga busuk. Hati ini yang akan membimbing nurani.
Nurani politik dijelaskan sebagai keterpanggilan terhadap politik yang memiliki dimensi vertical, yaitu tanggung jawab sebagai khalifah Allah, untuk menegakkan keadilan dan menebarkan kasih sayang. Berbeda sekali dengan banyak politikus yang saat ini berambisi menjadi pemimpin. Yang mereka miliki hanya syahwat politik, atau bahkan hawa nafsu politik. Pemimpin dengan nurani politik tampil karena panggilan, bukan atas perhitungan untung-rugi menjadi pemimpin, bahkan rela menyerahkan kepemimpinan kepada orang lain yang lebih tepat. Semoga negeri ini akan ada sosok pemimpin yang beraklak baik, yang mampu menjadi panutan bagi rakyat, di saat bangsa yang tercinta ini dilanda krisis kepemimpinan pejabat publik yang bermoral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar