Pemilu yang digelar setiap lima
tahun sekali di negeri ini, mulai dari pemilihan kepala daerah, legislatif dari
berbagai partai, bahkan pemilihan presiden. Dari semua kandidat yang akan
mencalonkan diri, pada saat itu memohon kepada rakyat untuk minta suara
dukungan dengan obral janji manis, dan siap menjadi pemimpin amanah sebagaimana
yang telah dipercayakan rakyat saat memilihnya. Dan akan memperjuangankan aspirasi
rakyat kecil serta memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Dengan janji
manis tersebut, akhirnya rakyatpun mau memilih untuk menjadikan salah satu
calon menjadi seorang pemimpin pejabat publik. Dengan harapan janji manis dan
sejuta harapan yang terlanjur terucap kepada mereka dapat menjadi nyata untuk
kesejahtaraan rakyat.
Sebut saja
Aceng Fikri, SAg. Bupati Kabupaten Garut yang sangat luar biasa bisa merebut
hati rakyat pada pemilukada tahun 2008, hingga menghantarkannya menjadi orang
nomor 1 di Garut dari jalur independent. Dengan mengalahkan pesaingnya dari
partai Golkar dan PDIP.
Namun sangat
disayangkan kepercayaan yang diberikan rakyat Garut kepada Aceng, untuk menjadi
seorang pemimpin sekaligus pejabat publik yang seharusnya mampu memberikan
panutan bagi rakyatnya. Justru dikhianatinya dengan perbuatan amoral, nikah
kilat terhadap gadis dibawah umur. Akibat kasus yang menimpahnya ini Aceng
dituntut lengser dari jabatannya oleh masyarakat Garut.
Prilaku pejabat publik yang berbuat
amoral ini bukan hanya dilakukan oleh Aceng saja, sebelumnya anggota DPR Yahya
Zaini yang kariernya tumbang setelah video mesumnya dengan seorang artis
beredar luas. Anggota DPR Wa Ode Nurahayati, misalnya, yang divonis enam tahun
penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi, bahkan masih bisa bertahan
menjadi anggota DPR ketika kasusnya mulai bergulir. Nasibnya sangat berbeda
dengan Arifinto, anggota DPR yang langsung dicopot partainya karena ketahuan
membuka situs porno saat sidang paripurna.
Hal serupa
terjadi pada Max Moein, anggota DPR yang dipecat Badan Kehormatan (BK) DPR
setelah foto-fotonya yang tidak senonoh beredar. Melihat kondisi ini kita dapat
menyimpulkan, bahwa jangankan untuk memimpin rakyatnya, bahkan para pemimpin
dinegeri ini tak dapat memimpin diri mereka dengan memiliki moral yang terpuji.
Kita selalu disuguhi informasi mengenai pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat publik. Pelanggaran yang dilakukan atas nama
jabatan ataupun atas nama pribadi. korupsi, perebutan kekuasaan, asusila, dan
perbuatan amoral lainnya. Hingga membuat kita bertanya tanya tentang moral
pejabat publik di negeri ini. Perbuatan yang mereka lakukan menandakan lemahnya
moral pejabat di negeri ini, sekalipun mereka menyandang gelar pendidikan yang
tinggi, seperti Aceng Fikri seorang sarjana agama.
Pada dasarnya pejabat publik merupakan orang-orang yang
diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas dalam jabatan publik untuk
melaksanakan tugas bangsa dan negara sesuai aturan yang ada. Mulai dari
eksekutif, legislatif, yudikatif, pejabat pusat, pejabat daerah, dan pejabat
lembaga negara lainnya. Semuanya memegang posisi penting bagi tujuan negara.
Karena dari kebijakan merekalah tujuan negara bisa dijalankan. Itulah sebabnya
masyarakat memilih mereka, karena percaya dengan kemampuan untuk menjalankan
tugas penting tersebut. Wajar jika orang-orang pilihan ini menjadi panutan
bagi masyarakat umum. Sayangnya setelah diberi kepercayaan justru mereka
mengkhianatinya dengan berbuat tidak amanah.
Achmad Mubarok mengemukakan bahwa
pemimpin yang bermoral adalah pemimpin yang dibimbing oleh nurani politik.
Dalam perspektif Psikologi Islami, perangkat kejiwaan manusia terdiri dari
akal, hati (qalbu), nurani (mata hati), syahwat (penggerak tingkah
laku), dan hawa nafsu (bersifat destruktif). Kelima hal tersebut dipimpin oleh
hati. Maka, jika seseorang berhati baik, maka akhlaknya juga baik. Begitu pula
jika hatinya busuk, akhlaknya juga busuk. Hati ini yang akan membimbing nurani.
Nurani politik
dijelaskan sebagai keterpanggilan terhadap politik yang memiliki dimensi
vertical, yaitu tanggung jawab sebagai khalifah Allah, untuk menegakkan
keadilan dan menebarkan kasih sayang. Berbeda sekali dengan banyak politikus
yang saat ini berambisi menjadi pemimpin. Yang mereka miliki hanya syahwat
politik, atau bahkan hawa nafsu politik. Pemimpin dengan nurani politik tampil
karena panggilan, bukan atas perhitungan untung-rugi menjadi pemimpin, bahkan
rela menyerahkan kepemimpinan kepada orang lain yang lebih tepat. Semoga negeri
ini akan ada sosok pemimpin yang beraklak baik, yang mampu menjadi panutan bagi
rakyat, di saat bangsa yang tercinta ini dilanda krisis kepemimpinan pejabat
publik yang bermoral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar